Selasa, 17 April 2012

Filosofi saya tentang “Perahu Kertas”

Mungkin saya terlambat untuk membaca buku ini. Perahu Kertas sudah dirilis sejak 4 tahun lalu. Tapi saya percaya, tidak ada kata TERLAMBAT untuk MENGIKAT HIKMAH.
Sebelum saya lupa, sebelum hikmah itu karam bersama perahu kertas yang tak mampu menahan derasnya aliran sungai, saya ingin sedikit membagi hikmah itu.
Saya tidak ingin menceritakan buku Perahu Kertas yang baru saja saya lahap hingga ke kalimat terakhir. Karena menurut saya, buku itu TIDAK BISA DICERITAKAN, tetapi hanya bisa DINIKMATI dengan cara MEMBACANYA. MEMBACANYA adalah the only way untuk dapat MENGIKAT HIKMAH yang mengalir di dalamnya.

Beberapa kali saya mencoba menuangkan apa yang saya dapat dari buku tersebut, melalui beberapa kali 140 karakter di twitter, namun saya merasa belum juga puas. Dan mungkin tidak akan pernah puas. Karena terlalu banyak lika-liku yang saya RASAKAN dalam membacanya. Ya, sepanjang saya membaca buku tersebut, saya seolah-olah berada di dunia lain. Berada di dalam kawah-kawah imajinasi yang saya tidak tahu ada dimana, tapi setiap sudut tempat dapat saya banyangkan dengan jelas. Wajah-wajah tiap karakter pun tergambar jelas di kepala saya, meski saya yakin setiap pembaca pasti punya imajinasi yang berbeda-beda. Karakter tiap tokoh begitu kuat dan dalam, dan tanpa sadari saya seperti sedang dalam posisi Kugy—salah satu tokoh utama dalam buku ini— tiap kali membacanya. Bahkan persaan Kugy pun kerap saya rasakan juga. Seringkali saya tergelak-gelak tawa tatkala humor-humor yang dihadirkan, terasa sangat natural namun mencabik-cabik urat tawa saya. Dan tak jarang pula saya menangis, bukan karena sedang membayangkan apa yang sedang terjadi, namun karena saya seperti sedang MERASAKAN apa yang dirasakan oleh mereka. Semua begitu NATURAL, begitu BERNYAWA, seperti lukisan Keenan dan dongeng-dongeng yang ditulis Kugy. Tak perlu EFFORT banyak-banyak untuk tertawa dan menangis saat membaca buku ini. Semua SANGAT NATURAL.

Dalam tulisan ini saya mencoba mengikat hikmah dengan cara saya sendiri, ya, dengan filosofi. Dalam sudut pandang saya, Perahu Kertas diibaratkan adalah manusia, kita. Sungai yang mengalir adalah kehidupan yang harus dijalani. Bebatuan di sana-sini, ikan-ikan, dan semua rintangan itu adalah realitas yang harus dihadapi. Sedangkan lautan, adalah impian yang hendak dicapai. Walau kita sudah berada di pantai, kita tak akan pernah sampai ke laut jika kita tidak menginginkannya. Jika kita gentar dengan ombak yang bergulung-gulung, jika kita terlalu asyik dengan istana pasir yang kita buat—yang kita tahu suatu saat akan hancur jua diterpa air laut. Kertas tak akan pernah menjadi Perahu Kertas tanpa kita MEMBUATNYA. Dan IMPIAN AKAN SELAMANYA MENJADI IMPIAN, jika kita tidak MEWUJUDKANNYA.

Sebaliknya. Perahu Kertas, dengan segala kerapuhannnya karena hanya terbuat dari kertas, yang mungkin akan terkoyak di tengah jalan hanya dalam hitungan meter, namun dengan KEYAKINAN, semua batu, kerikil, atau apa pun, tak akan pernah mengaramkannya. Perahu Kertas akan terus melaju sampai ke muara. Meski sudah bukan dalam bentuk perahu, meski lebih tepat disebut onggokan kertas, namun SAMPAI KE LAUT tetaplah SAMPAI KE LAUT. Dan itulah yang dinamakan PENGORBANAN untuk mencapai IMPIAN. Seperti keyakinan Kugy bahwa setiap sungai, setiap empang, bahkan selokan sekalipun akan menghanyutkan perahu kertasnya untuk sampai ke laut. Ya, KEYAKINAN, PENGORBANAN, dan IMPIAN adalah tiga kata yang tak pernah dapat dipisahkan.

Di beberapa sudut cerita, buku ini menggariskan sebuah hikmah yang TERSIRAT namun LUGAS. “You can lie to the world. The whole world. But not to your heart”. Sebuah perahu kertas mungkin akan terlihat mulus berjalan PADA AWALNYA. Walau hanya terbuat dari kertas, namun tetap mengapung, dan tetap mengalir, PADA AWALNYA. Walau hanya terbuat dari kertas, tetapi bentuknya mirip perahu sungguhan, PADA AWALNYA. Tetapi perahu kertas, tetaplah terbuat dari kertas, yang tak bisa terus bertahan walaupun bentuknya seperti perahu sungguhan. Partikel-partikel kertas tak akan mampu menahan gejolak air di sepanjang perjalanannya sampai ke laut. Itulah yang dinamakan REALITAS. Karena orang-orang (DUNIA) hanya melihat perahu kertas mengalir sebatas pandangannya saja, namun setelah tak terlihat lagi, DUNIA tidak akan tahu dan mungkin tidak akan peduli perahu kertas itu kelak akan menjadi apa, kelak hendak sampai kemana. Karena hanya perahu itu saja, dan Tuhan yang tahu.

Hikmah besar selanjutnya yang mengalir bersama saya dan buku Perahu Kertas ini adalah betapa lari dari masalah adalah sebuah masalah. Jika kertas diibaratkan sebuah masalah, dan kita buat perahu, lalu dihanyutkan, sesungguhnya kita tidak sedang membuang masalah, namun MENAMBAH MASALAH. Karena setelah dialirkan ke sungai, tidak ada yang dapat menjamin kertas itu akan hancur ditelan alam. Karena kertas tersebut bisa saja bergabung dengan kertas-kertas MASALAH yang lain, yang pada akhirnya menumpuk dan akhirnya mengotori bahkan menghentikan aliran sungai. Atau.. membuat aliran sungai yang tenang menjadi luapan air yang membanjiri bumi hingga menjadi petaka, karena kertas-kertas MASALAH yang dihanyutkan bersama perahu tadi.

Saya memang tidak pandai merangkai kata-kata. Saya bahkan jarang mebaca novel. Saya juga jarang sekali mengisi blog saya. Tapi buku Perahu Kertas ini sungguh mendorong saya untuk MEMBACA dan MENULIS lagi.Terima kasih Dee Lestari :)
Akhir kata, buku ini VERY RECOMMENDED, untuk anda yang bosan dengan kisah-kisah cinta biasa. Untuk anda yang muak dengan cerita yang tidak natural, untuk anda yang tidak suka dengan alur cerita yang tertebak akhirnya sampai anda benar-benar menyelesaikannya, untuk anda yang lupa dengan rasanya “penasaran”, dan untuk anda yang ingin ikut mengarungi sungai-sungai kehidupan yang digambarkan penulis bersama Perahu Kertas anda masing-masing. Karena setiap Perahu Kertas akan akan menemukan jalannya masing-masing menuju LAUTAN, menuju IMPIAN. Karena setiap Perahu Kertas akan menemukan NASIBNYA sendiri.
Mungkin masih banyak hikmah yang tak tersampaikan, dan itulah KEHIDUPAN. Tidak semuanya dapat DIUNGKAPKAN. Namun, dengan mengarunginya, satu per satu hikmah akan terikat dengan sendirinya. :)

Tangerang, 17 April 2012


@clarabella_f

5 komentar: