Jumat, 31 Agustus 2012

Keluarga Pecinta Al-Qur'an

Alkisah, sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan empat orang anak. Anak yang pertama laki-laki kelas 3 SD. yang kedua juga laki-laki kelas 1 SD. Yang ketiga perempuan, masih TK, dan yang bungsu umur tiga tahun juga perempuan. Yang menarik, keluarga ini menjadi keluarga pecinta Qur’an. Anak pertamanya kini sudah hafal 5 juz. Anak keduanya 2 juz, sedangkan anak ketiganya 1 juz, anak ke empatnya walau masih tiga tahun sudah Iqra 3. Ayah ibunya? Alhamdulillah sudah hafal 30 juz. Subhanallah. Setiap pekan, mereka meluangkan waktu untuk mengkaji Al-Qur’an bersama. Si Ayahnya ini meski bukan jebolan pesantren, tapi pengetahuan akan agama Islam tidak diragukan karena kecintaannya pada Al-Qur’an. Ayahnya menjadi idola bagi anak-anaknya, karena pengetahuannya yang mendalam itu. Ayahnya selalu jadi “sasaran” jika mereka mau bertanya-tanya tentang hal apapun. Setiap Shubuh dan Isya, mereka selalu sholat berjamaah. Pagi sampai sore harinya, ayahnya bekerja. Ibunya? Saat menikah ibunya masih bekerja di sebuah perusahaan. Tapi setelah melahirkan anak pertamanya, ibunya fulltime berada di rumah. Ia mengabdikan dirinya untuk keluarga. Tetapi ia tetap membantu perekonomian keluarga dengan usaha yang dimilikinya, namun tidak mengganggu waktunya untuk keluarganya. Ia gunakan waktu sisanya untuk berbisnis, sedangkan waktu utamanya tetap untuk keluarga. Bagaimana caranya? Dari tabungannya semenjak belum menikah sampai ia berhenti bekerja, ia gunakan untuk membeli 2 gerobak es buah. Kemudian ia cari dua orang pegawai untuk menjajakkan dagangannya. Sehari-hari kedua gerobak tersebut mangkal di tempat yang berbeda. Malam hari seusai Shalat Maghrib, ibunya ini tinggal menerima saja setoran dari pegawainya. Di tahun ke sepuluh pernikahannya, ia telah memiliki 30 gerobak. Selain itu, ia juga menerima pesanan kue untuk arisan, pengajian, rapat dan lain-lain. Jika pesanannya banyak, ia kerahkan tetangganya sesama ibu rumah tangga untuk membantunya membuat kue-kue tersebut di rumahnya. Suaminya, keempat anaknya, tak pernah sedikitpun kehilangan perhatian darinya. Hasilnya tak ia foya-foya. Ia bukan tipe wanita yang suka menghambur-hamburkan uang. Ia gunakan uangnya untuk tambahan keperluan keluarga, sedekah, dan sisanya diinvestasikan. Apa investasinya? Ia beli sebuah rumah yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumahnya, yang dipergunakan untuk penitipan anak sekaligus TPA untuk anak-anak. Investasi dunia sekaligus akhirat. Sore hari, ia mengajar di TPA tersebut dengan membawa anak-anaknya juga. Jadi benar-benar tidak ada yang dikesampingkan olehnya. Pernah suaminya bertanya, ”Istriku, apa ada yang engkau inginkan? Mungkin perhiasan? Atau pakaian? Aku selalu bingung jika mau memberimu hadiah, kau tak pernah minta apa pun. Dan tak terlihat tertarik pada suatu benda apa pun. Jika kau butuh sesuatu, kau selalu gunakan uangmu sendiri. Uang yang ku berikan padamu, kau gunakan sepenuhnya untuk keperluan keluarga” Mendengar pertanyaan itu, istrinya tersenyum, lalu berkata “aku tak pernah silau akan apa pun di dunia ini, aku hanya ingin bersamamu dan anak-anak kita di syurga, bimbing aku ya... hanya itu yang aku butuhkan. Cukuplah akhirat yang kita kejar, biar dunia yang kejar menghampiri kita” Si Ayah, pengetahuan akan agamanya mendalam hingga bisa membimbing keluarganya menjadi pecinta Qur’an. Si ibu, ibu yang cerdas dalam multitasking, great mompreneur, dan tak pernah lepas perhatiannya pada keluarga. Anak-anak yang sholih dan sholihah. Sungguh, sebuah potret keluarga yang mengagumkan bathin saya. Yak, surpriiiiseee kisah tadi 100% karangan saya. Hehehe. Itu keluarga impian saya yang ingin saya bangun kelak. Saya menulis ini karena bosan dengan bentuk harapan yang ditulis dengan poin-poin, kurang menarik. Semoga saya bisa mewujudkan impian saya, itu. Aamin Yaa Robb :) Walau fiksi, tapi saya sering mendengar kisah-kisah yang serupa. Yang di atas ini saya sesuaikan dengan keinginan saya. Namanya juga impian, boleh-boleh saja kan? Hehe.. Semoga menginspirasi dan bermanfaat. Salam, calon ibu di keluarga pecinta Qur’an. (hihiw :D)

Kamis, 23 Agustus 2012

Aku Benci Jatuh Cinta.....

Aku benci jatuh cinta, tanpa aku bisa mengungkapkannya.. Aku benci memulai sesuatu, tanpa ku bisa mengakhirinya.. Aku pun benci mengakhiri sesuatu, tanpa ku bisa melupakan bagaimana awalnya.. Aku benci merindu, tanpa ku dapat bertemu.. Aku benci merasa khawatir, tanpa aku bisa berbuat apa-apa.. Aku benci menunggu, tanpa ku tahu sampai kapan.. Aku benci semua perasaan ini, tanpa aku bisa mengendalikannya.. Aku pun benci semua kebencian ini, tanpa ku tahu mengapa.. Tapi semua kebencian ini karena kecintaanku pada-Mu ya Allah.. Aku benci jatuh cinta,, Ya, aku benci jatuh cinta (pada seseorang yang bukan Haq), tanpa aku bisa mengungkapkannya (dalam keadaan yang halal).. Aku benci memulai sesuatu (yang belum waktunya), tanpa ku bisa mengakhirinya (dengan ikhlas).. Aku pun benci mengakhiri sesuatu (yang berujung penyesalan), tanpa ku bisa melupakan bagaimana awalnya (betapa aku bodoh melakukan sesuatu yang tak kau ridhoi).. Aku benci merindu (pada sesuatu yang Kau rindukan), tanpa ku dapat bertemu (di waktu yang telah Engkau tentukan).. Aku benci merasa khawatir (pada suatu keadaan), tanpa aku bisa berbuat apa-apa (selain doa yang ku panjatkan).. Aku benci menunggu (untuk dapat melakukan apa yang Engkau perintahkan), tanpa ku tahu sampai kapan (Aku mampu melakukannya).. Aku benci semua perasaan ini (jikalau sampai mengusik rasa cintaku pada-Mu), tanpa aku bisa mengendalikannya (dengan iman yang kuat).. Aku pun benci semua kebencian ini (jikalau terselip alasan yang bukan karena-Mu), tanpa ku tahu mengapa (begitu lemah imanku).. Satu prinsipku yang kini ku pegang Kan kucintai sesuatu hanya karena-Mu, Dan kan kubenci sesuatu hanya karena-Mu.. Insya Allah.. Kuatkan Aku Ya Allah.. pada jalan perjuangan ini.. Tuntun aku agar dapat senantiasa bertaqwa.. "Robbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a’yun, waj’alna lil muttaqina imama…"(Al-Furqan:74)

Senin, 06 Agustus 2012

Kisah Cinta Ali Bin Abi Thalib dan Fathimah Azzahra

Ini salah satu kisah cinta terindah menurut saya. begini ceritanya.... Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan! ‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu. ”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya. Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan. Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan. Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu? ”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ” ”Aku?”, tanyanya tak yakin. ”Ya. Engkau wahai saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!” ’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan. ”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” ”Entahlah..” ”Apa maksudmu?” ”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ” ‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.” Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4) Sumber: http://psikoci.wordpress.com/2011/10/20/50/